INDOPOS.CO.ID – Dalam perkembangan teknologi komunikasi semakin pesat, media sosial (Medsos) telah menjadi kanal penting bagi interaksi antarindividu dan antara pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi, medsos menawarkan peluang besar bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang lebih langsung dan interaktif kepada warganya.
“Tantangan yang dihadapi, seperti penyebaran informasi yang tidak akurat dan fenomena disinformasi, memerlukan pengelolaan yang cermat dan strategis,” kata Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina Irham Kaharuddin melalui gawai, Sabtu (28/12/2024).
Oleh karena itu, lanjut dia, pengelolaan media sosial oleh pemerintah harus dilakukan dengan prinsip-prinsip komunikasi yang solid. Salah satu kerangka teori yang dapat dijadikan landasan dalam memahami pengelolaan media oleh pemerintah adalah Teori Agenda-Setting. “Teori ini menjelaskan bagaimana media menyiapkan agenda publik dengan menentukan isu-isu apa yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat,” terangnya.
Dalam konteks ini, masih ujar dia, pemerintah dapat menggunakan medsos untuk memperkuat agenda kebijakan tertentu yang penting untuk diketahui publik. Misalnya, saat pemerintah ingin menyoroti masalah kesehatan masyarakat, bisa memposting konten yang mengedukasi tentang pentingnya vaksinasi.
“Penting untuk diingat bahwa ketidakpahaman atau keraguan masyarakat terhadap isu-isu tertentu juga bisa disebabkan oleh kurangnya informasi yang valid dan berimbang,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus berperan aktif dalam menyediakan informasi yang sesuai untuk membimbing opini publik. “Kita perlu memperhatikan Teori Komunikasi Dua Arah, yang menekankan pada pentingnya interaksi antara pengirim dan penerima pesan,” ujarnya.
“Media sosial bukan hanya alat untuk menyebarkan informasi, tetapi juga platform untuk mendengarkan suara rakyat. Dalam praktiknya, banyak pemerintah yang menggunakan fitur komentar atau polling untuk mendapatkan feedback yang berarti,” imbuhnya.
Ia mencontohkan, berbagai instansi pemerintah sering kali melakukan survei secara daring mengenai tanggapan masyarakat terhadap kebijakan yang telah diambil. Ini memperlihatkan pemerintah peduli dan menghargai pendapat warganya. “Langkah ini penting untuk membangun jaringan komunikasi yang lebih kuat dan masuk akal, di mana masyarakat merasa didengarkan dan memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan,” ungkapnya.
Namun, masih ujar dia, dalam pengelolaan media sosial, transparansi dan akuntabilitas adalah dua hal yang tidak bisa diabaikan. Dalam era informasi saat ini, di mana berita palsu dan rumor bisa menyebar dengan sangat cepat, pemerintah harus menjaga komunikasi yang akurat dan terbuka.
Lebih jauh ia mengungkapkan, penerapan teori komunikasi transaksional dapat menjadi panduan dalam hal ini. Teori ini mengedepankan hubungan timbal balik dalam komunikasi, di mana pengirim dan penerima saling dipengaruhi.
Dalam konteks media sosial, menurutnya, pemerintah transparan terkait kebijakan untuk membangun kepercayaan masyarakat. Misalnya, melakukan siaran langsung mengenai program pemerintah atau bahkan memberikan penjelasan mendalam tentang pengelolaan anggaran publik akan menunjukkan akuntabilitas. “Ini juga bisa mendorong masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dalam dialog terbuka,” ucapnya.
Ia menjelaskan, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan media sosial oleh pemerintah tidak ada habisnya. Salah satu tantangan terbesar di antaranya penanganan disinformasi atau berita palsu. Teori spiral of silence, lanjut dia, mengemukakan bahwa individu cenderung tidak menyuarakan pendapat mereka jika merasa pendapat tersebut tidak populer.
Ia menuturkan, ketika berita palsu menyebar dan menciptakan ketakutan atau kebingungan di masyarakat, suara-suara yang rasional dan berbasis bukti dapat tertekan. “Pemerintah perlu berperan aktif dalam meredam penyebaran informasi yang salah melalui klarifikasi yang cepat dan akurat. Selain itu, edukasi masyarakat tentang cara mengidentifikasi berita yang valid juga penting,” terangnya.
Ia menyebut, satu aspek lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pemerintah mengelola konten di media sosial. Pada waktu tertentu, konten yang kontroversial dapat mendapatkan perhatian lebih besar daripada konten positif.
Oleh karena itu, dikatakan dia, strategi komunikasi yang matang harus diterapkan untuk memastikan adanya keseimbangan antara informasi kritis dan positif. Pemerintah, menurutnya, dapat berkolaborasi dengan para ahli media sosial dalam membuat konten yang menarik, informatif, dan mampu menjangkau audiens dengan cara yang kreatif.
“Di era saat ini generasi muda merupakan pengguna media sosial yang dominan, penggunaan bahasa yang sesuai, serta visual dan narasi yang menarik sangat penting untuk mencapai tujuan komunikasi,” ungkapnya.
Ia menuturkan, semua usaha tersebut harus dilandasi oleh komitmen nyata untuk menciptakan dialog yang terbuka dan demokratis. Pengelolaan media sosial oleh pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada penyampaian informasi, tetapi juga pada penciptaan ruang bagi partisipasi publik.
Dengan memahami teori-teori komunikasi yang ada dan menerapkannya secara strategis, pemerintah dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan masyarakat. “Ini adalah langkah penting untuk memperkuat demokrasi dan menciptakan iklim yang kondusif untuk kedua belah pihak antara pemerintah dan rakyat,” ujarnya.
“Pengelolaan media, termasuk media sosial oleh pemerintah merupakan tanggung jawab yang besar sekaligus peluang yang tak terhindarkan di era digital saat ini,” imbuhnya.
Ia menambahkan, dengan penerapan teori komunikasi yang relevan, pemerintah tidak hanya dapat mengarahkan agenda publik, tetapi juga menciptakan komunikasi dua arah dan transparan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat.
“Di tengah tantangan yang ada, pengelolaan media yang baik dapat menjadi jembatan untuk memperkuat demokrasi, memperkaya partisipasi publik, dan menciptakan masyarakat yang lebih informatif dan terdidik,” ujarnya. (nas)